AGAR TAUBAT TIDAK SIA-SIA

Bagikan :

Oleh: Dr. Muhammad Sarbini, M.H.I

 

Taubatan Nasuha, itulah kata yang disematkan Alloh SWT untuk menyebut sebuah taubat yang sebenarnya dan sesungguhnya. Alloh SWT berfirman:

  

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Alloh dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Robb kalian akan menutupi kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Alloh tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. at-Tahrim [66]: 8)

Ada berbagai ungkapan yang disampaikan oleh salafussolih dalam menggambarkan hakekat taubatan nasuha.

Ibnu Jarir, Ibnu Katsir  dan Ibnu Qoyyim menyebutkan dari Umar bin al-Khottob ra, Ibnu Mas`ud ra dan Ubay bin Ka`ab ra bahwa taubatan nasuha adalah: “jika pelakunya bertaubat dari dosa, kemudian dia tidak kembali mengerjakannya lagi, seperti air susu yang tidak bisa kembali kekantong kelenjarnya”.

Al-Hasan al-Bashri berkata: “Taubatan nasuha berarti seorang hamba harus benar-benar menyesali dosanya yang telah lampau dan bertekad untuk tidak kembali melakukannya lagi”.

Al-Kalbi mengatakan: “Taubatan nasuha artinya memohon ampunan dengan lisan, menyesal dengan hati dan menahan diri berbuat maksiat di anggota tubuhnya”.

Muhammad bin Ka’ab al-Qurthubi mengatakan bahwa taubatan nasuha menghimpun empat perkara: “memohon ampun dengan lisan, menjauhkan diri dari dosa dengan badan, tekad untuk tidak kembali melakukannya lagi dengan sepenuh jiwa, dan menghindari teman-teman yang buruk”.

Dari  uraian ulama tentang arti taubatan nasuha  yang menunjukkan cakupan agar taubat kita tidak sia-sia, maka taubat pada hakekatnya harus terbentuk dari tiga unsur atau mempunyai tiga pilar, yaitu:

  1. Unsur Ma’rifah dalam taubat.

Unsur pertama adalah unsur ma’rifah dan pengetahuan, yang tercermin dalam pengetahuan kita tentang kesalahan yang kita lakukan, saat kita terseret kedalam kedurhakaan kepada Alloh SWT dan upaya untuk menyingkap tabir dari kedua mata kita hingga kita dapat melihat kembali, membersihkan kerak dari kedua telinga kita sehingga kita dapat mendengar kembali, mengenyahkan kegelapan dari akal kita sehingga kita dapat menalar. Hal itu harus dilakukan pada saat kita memiliki kesadaran dan kehendak untuk kembali kepada fitroh yang selamat. Di sini kita bisa mengetahui keagungan Robbi kita, kedudukan dan hak-Nya serta mengetahui kekerdilan diri kita di sisi Alloh SWT, ketaatan kita kepada setan dan kerugian kita di dunia dan di akherat. Alloh SWT berfirman:

 

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Alloh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, karena tidak ada satupun yang dapat mengampuni dosa selain Alloh, dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali-`Imron [3]: 135)

Mereka adalah orang-orang yang mengingat Alloh dan memohon ampun terhadap dosa-dosanya. Memohon ampun ini dilakukan sebagai buah dari mengingat Alloh SWT. Mengingat adalah bagian dari ma`rifat atau ilmu. Sebab yang dimaksud zikir di sini bukan zikir dengan lisan, tapi maksudnya adalah lawan dari lupa atau lalai.

Ilmu dalam Islam merupakan pembuka dari segala keadaan jiwa dan amalan badan. Awal taubat adalah menyadarkan hati dari kelalaiannya dan kesadaran hamba terhadap keadaannya yang buruk.

  1. Unsur Psikologis dan Kehendak.

Unsur yang kedua dalam taubat adalah unsur psikologis yang berkaitan dengan jiwa dan kehendak. Di dalam unsur ini ada yang berkaitan dengan masa lampau dan ada pula yang berkaitan dengan masa mendatang yang meliputi beberapa hal:

 

  1. Penyesalan yang mendalam.

Penyesalan merupakan perasaan, emosi dan lintasan di dalam sanubari, yang menggambarkan kekecewaan karena seseorang berbuat dosa, baik yang berkaitan dengan Alloh SWT, hak manusia atau hak dirinya sendiri. Perasaan merugi ini menyerupai api yang membakar hati sedemikian rupa dan bahkan menghanguskannya. Setiap kali dia mengingat dosa dan pelanggarannya, maka dia selalu ingat hak Alloh SWT atas dirinya.

Di antara fenomena penyesalan ini ialah mengakui dosa dan tidak lari dari tanggungjawab untuk memikul akibatnya, disertai permintaan maaf dan ampunan kepada Alloh SWT. (baca: QS. al-A’rof [7]: 23).

  1. Tekad yang bulat.

Tekad yang bulat untuk meninggalkan kedurhakaan, meninggalkannya secara total dan tidak ingin melakukannya kembali sebagaimana air susu yang tidak bisa kembali kekantong kelenjarnya, jika air susu itu sudah keluar. Ini hal yang harus merupakan kehendak yang kuat, bukan sekedar kehendak yang mengambang dan asal-asalan, mangayunkan satu kaki, namun kaki satunya lagi masih tertinggal di belakang, pagi bertaubat dan sore harinya melakukan dosa lagi.

  1. Unsur Perbuatan dalamTaubat.

Unsur perbuatan ini mempunyai satu akar yang kemudian menumbuhkan dua macam cabang atau lebih. Akarnya adalah membebaskan diri dari kedurhakaan kepada Alloh SWT secara langsung. Apalah artinya taubat jika seseorang tetap melakukan kedurhakaannya, tidak menghindar dan melepaskan diri darinya? Kalau begitu keadaannya, dia taubat dari apa? Meninggalkan kedurhakaan dikategorikan sebagai amal, karena dia menahan diri dari kedurhakaan yang dingininya, lalu beralih melakukan ketaatan. Maka tidak diragukan lagi, bahwa menahan diri dari kedurhakaan ini termasuk unsur amal, latihan dan jihad di jalan Alloh SWT, sebagaimana firman-Nya:

 “Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya Alloh benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut [29]: 69)

Dari satu akar ini tumbuh dua cabang, yaitu: Istighfar Yaitu mengucapkan kalimat “astagfirulloh” sebagai tanda memohon ampunan kepada Alloh SWT.

Merubah lingkungan dan teman-teman

Merubah lingkungan sosial yang banyak di warnai noda, yang selama melakukan kedurhakaan dan penyimpangan, dia berada di sana, lalu pindah mencari lingkungan yang bersih dan terbebas dari berbagai penyakit menular. Sebagaimana yang bisa kita renungkan dari peristiwa seorang pembunuh 100 orang di zaman Bani Isroil yang akhirnya bertaubat dengan mendapatkan perintah untuk pindah dari lingkungan dan teman-temannya yang selama ini menebar noda menuju lingkungan dan teman-teman yang penuh pengabdian dan keikhlasan.

Mari kita berusaha semaksimal mungkin untuk meluruskan kembali taubat kita, agar taubat kita tidak menjadi yang sia-sia. Wallohu a’lam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Assalamualaikum,..

Sahabat shalih/shaliha bantu para santri untuk bisa menghafal al-Qur’an yuk, dengan bersedekah di program

Beasiswa untuk Santri Penghafal Al-Qur'an