Dari Kuliah Umum Dr. Zakir Naik: Pertaruhan Niat dan Pencarian Kebenaran

Bagikan :

Aku termasuk yang percaya bahwa setiap usaha yang gigih tidak akan pernah berujung sia-sia. Jika pun pada akhirnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, pasti ada ibrah yang bisa dipetik dari situ. Barangkali usaha kita masih kalah dengan usaha orang lain, barang kali kurang doa, atau jangan-jangan… niatnya yang salah?

Sedari awal, ketika dijawab oleh salah seorang dosenku bahwa kedatangan Dr. Zakir Naik ke UMY adalah berita yang valid, rasanya senang sekali. Yah, bayangkan saja, aku sendiri bahkan nggak tahu apa pun sampai temanku yang kuliah di UNY menanyakan soal itu. Sebelum memutuskan bertanya pada dosen aku telah terlebih dahulu mencari tau. Kepoin twitter UMY dan jreng jeng jeng… udah banyak juga yang nanya tentang itu. Cek web UMY belum ada berita resmi. Jadi yah, karena penasaran, akhirnya nanya ke dosen langsung—yang sebenarnya melalui proses maju mundur juga; tanya-nggak-tanya-nggak-tanya-nggak, hehhe.

Berita resminya rilis keesokan harinya. Dan begitu pendaftaran online dibuka, banyak yang mengeluh tidak bisa mengakses web-nya. Pada saat itu aku mengalami hal yang sama. Wajar sih, yang ngakses pasti banyak. Giliran bisa dibuka, eh kuota penuh. Dan begitu seterusnya sampai 5 hari berturut-turut. Di hari keenam, ketujuh, kedelapan, aku merasa sedikit hopeless, dan memang pada waktu itu sedang sakit juga jadi untuk kembali duduk di depan laptop berebut nomor kursi rasanya sangat enggan. Tapi di hari kesembilan—yang setelah mendaftar aku baru tahu bahwa itu adalah hari pendaftaran terakhir, aku tiba-tiba tergerak untuk mendaftar. Dan bisa! Bahkan aku juga sempat mendaftar untuk temanku. Alhamdulillaah. Masalah lolos apa nggak mah urusan belakangan yang penting kedaftar dulu, hehe.

Hari Sabtu sore email konfirmasi masuk dan dinyatakan lolos. Nggak rugi juga jawab panjang-panjang buat kolom “motivasi Anda dalam mengikuti acara ini”. Just fyi, aku jawab panjang banget untuk pertanyaan yang satu itu. Kalo diketik bisa jadi satu postingan di Tumblr (btw aku baru bikin Tumblr :p). Bukan apa-apa sih, aku cuma mau jawab jujur dan nggak tau gimana caranya supaya bisa jadi 2 atau 3 kalimat saja, hehe. Mungkin karena Allah tahu betul motivasiku apa, akhirnya aku diizinkan untuk bisa ikutan acara itu. Alhamdulillaah. :’))

Punyaku dah lecek banget sih, ini punya teman, hehe. Sudah izin kok.

Sempat ada lelucon begini sama temanku sewaktu melihat antrian yang antara ikhwan dan akhwatnya dipisah jauh: “Untungnya belum ada suami ya. Ini sih kalo misal sama suami bakalan pisah nih sekalipun mahram.”

Ngngngng~ hahaha. Kita berdua lantas ketawa. Lucunya setelah kami duduk di tribun (iya, kebagian tempatnya di tribun :””), teman samping kiriku menegurku begini:

Dia: “Mbak anak SMA ya?”
Aku: “Haa? Bukan.”
Dia: “Trus ini rok Mbak rok abu-abu SMA.”
Aku: *ketawa* “Ini bukan rok. Ini gamis akunya emang kayak abu SMA warnanya.”
Dia; “Ya ampun, aku pikir Mbak tuh bolos sekolah tau. Kok ada anak SMA di sini.”
Aku: “Haha. Nggak kok, aku mahasiswa di sini.”
Dia: “Semester berapa, Mbak?”
Aku: “Ngg, semester akhir.” *senyum miris*
Dia: “Ya ampun, Mbak, kirain Mbak tuh angkatan 2016. Wajah Mbak kayak seumuran aku soalnya.”
Aku: “……..”

Gara-gara itu, kami jadi nggak canggung meskipun baru kenal. Dia bercerita bagaimana akhirnya dia bisa lolos mengikuti acara tersebut dan banyak lagi obrolan kami sampai kemudian MC mengumumkan bahwa peserta public lecture dilarang untuk mengambil foto. Namun ada beberapa yang masih tidak mau mengikuti peraturan tersebut. Ketika itu sayup-sayup aku mendengar seseorang di belakangku berkata pada teman di sampingnya, yang isinya kira-kira begini:

Alhamdulillaah Allah masih kasih kita kesempatan buat ikut acara ini. Mungkin Allah pengen supaya kita jadi lebih baik lagi, buat nambahin semangat hijrah.”

Lalu, ketika mendengar untuk kesekian kali diperingatkan bahwa ada sendiri waktunya diperbolehkan mengambil foto, aku mendengarnya berkata lagi, “Kadang-kadang buat acara-acara keren kayak gini, orang itu datang cuma pengen dapet ‘gengsi’nya. Bakal keliatan siapa yang beneran mau nuntut ilmu dan siapa yang nggak.”

Jleb. Banget. Rasanya seperti ditampar langsung ke pipi. Duh, bener banget kata Mbak itu. 🙁 Sejenak aku merenungi kembali: buat apa sih kamu ikut acara ini? Oke, mungkin kita benar-benar ingin menuntut ilmu, ingin mendengar langsung pemaparan genius tentang “Religion as An Agent of Mercy and Peace” dari Dr. Zakir Naik yang biasanya cuma kita tonton videonya di Youtube. Dan aku pribadi secara panjang sudah menjelaskannya sewaktu mengisi formulir pendaftaran dan pada saat menuliskan itu aku ingat bahwa banyak hal yang sebenarnya adalah tanggung jawabku namun aku tidak bisa menyelesaikannya karena ilmuku yang sangat minim.

Setelah itu, yakin nggak, nggak ada niat lain? Sejujurnya aku sendiri nggak yakin. Jadi itu alasan kenapa rasanya seperti dipukul telak. Barangkali niatku masih belum lurus betul. :’) Seperti kata Mbak tadi, jangan-jangan kita ikut acara-acara seperti itu cuma ingin dapat gengsinya saja? Prestise-nya saja, boro-boro mau nyimak malah udah keduluan sibuk sama medsos buat update.  Dalihnya sih supaya nambah ilmu, supaya dapat motivasi, supaya makin istiqamah, tapi coba cek jauh ke dalam hati kita, selain itu ada lagi nggak?

Barangkali kita datang cuma ingin supaya bisa update di medsos bahwa kita ada di situ, cuma ingin datang karena dia terkenal lalu kajian-kajian kecil nan penting di lain kesempatan sama sekali tidak masuk hitungan, datang karena cuma iseng ingin tahu dan setelah itu byeNaudzubillaah. Padahal ada orang-orang yang datang untuk mencari kebenaran, seperti saudara-saudara kita nonmuslim atau mereka yang mengaku tidak percaya adanya Tuhan. Sedangkan kita yang sudah tahu kebenaran, urusan niat saja masih sering salah.

Datang ke majelis ilmu merupakan suatu kebaikan, yang artinya telah terbuka satu jalan dari Allah untuk menuntun kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tapi kita lebih sering salah niat daripada benernya; supaya dibilang shalehah lah, istri/suami idaman lah, dan sebagainya. Jadi makanya mungkin ilmunya sulit buat kita terima dan terapkan. Ya kan? Kalo aku sih ngerasanya gitu. 🙁 Padahal Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

Artinya: “Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 & Muslim no. 1037).

Paham tentang agama di sini maksudnya adalah seseorang itu mengerti tentang tauhid dan pokok ajaran Islam serta semua hal yang berkaitan dengan hukum-hukum Allah (selengkapnya baca di sini). Dan sekali lagi, soal kelurusan niat ini juga menjadi koreksi untukku pribadi. Jangan sampai udah sibuk berjuang buat ikut acara tersebut tapi pulangnya malah nggak ada sama sekali yang nyantol, kan rugi. Jadi setelah mendengar perkataan Mbak tadi itu, aku jadi benar-benar berusaha menyimak sepenuhnya. Nggak peduli aku nggak bisa mengerti semuanya, yang penting aku paham apa yang dimaksud Dr. Zakir Naik.

Dan yah, rasanya takjub sekali. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peserta adalah beberapa hal yang juga menjadi pertanyaanku. Pertanyaan itu muncul ketika aku terlibat dalam sebuah obrolan dengan seseorang. Meski aku sendiri yakin betul bahwa pemahamanku tidak salah, tapi adalah sulit untuk bisa menjelaskannya. Jadi ketika itu aku hanya bisa diam. Lagipula sulit sekali memberi tahu orang-orang yang sehari-harinya hanya melihat dan mendengar segalanya dari media mainstream kan?

Lalu ketika Dr. Zakir Naik bicara soal betapa Islam adalah agama yang damai dan memaparkan secara lantang siapa yang sesungguhnya teroris, aku terpana. Sangat berani. Seseorang yang cuma takut sama Allah, maa syaa Allah. Allah seolah kasih jalan, “Evi, ini lho. Sekarang kamu sudah tahu kan?” Lebih-lebih ketika kemudian ada yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Perjanjian yang sungguh sakral. Maa syaa Allah, hati ini rasanya gerimis. Senang dan damaaai banget. Betapa hidayah Allah itu sebenarnya dekat; tergantung kita mau berusaha mencari kebenarannya atau tidak, mau menerimanya atau tidak. Jangan sampai ketika kita telah dikehendaki kebaikan oleh Allah dengan dipahamkan dalam urusan agama, lantas kita enggan menjalankannya. *selfreminder*

Alhamdulillaah. Terima kasih Dr. Zakir Naik atas ilmunya, juga UMY yang telah memfasilitasi segalanya sehingga para pencari kebenaran bisa menemukan jalannya. Dan siapa pun Mbak itu, aku merasa berterima kasih telah diingatkan. In syaa Allah, lain kali akan berusaha lebih hati-hati soal niat dalam hati ini. :))

Foto satu-satunya, hehe. Maaf kurang jelas karena duduknya jauh 🙂

 

Kini, amanah itu harus segera ditunaikan.


Disadur dari tulisan karya Evi Sovia Inayati (Mahasiswi Universitas Muhamadiyyah Yogyakarta) di http://evnaya-sofia.blogspot.co.id/2017/04/dari-public-lecture-dr-zakir-naik_4.html dengan gubahan seperlunya

Assalamualaikum,..

Sahabat shalih/shaliha bantu para santri untuk bisa menghafal al-Qur’an yuk, dengan bersedekah di program

Beasiswa untuk Santri Penghafal Al-Qur'an